SYA’BAN
DAN KEWAJIABAN YANG MENGIRINGINYA,ADAKAH?
Assalamu alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh.
Kalender Sya'ban - Ramadhan 1441 H |
Alhamdulillah
jumpa kembali dengan aku semoga sehat dan sukses selalu untuk setiap gerak
langkah kita dalam mengarungi samudera kehidupan ini.Satu hal yang patut kita
syukuri pula adalah hari ini Kamis,9 April 2020 bertepatan dengan 15 Sya’ban
1441 H yang Insya Allah sekitar dua pekan lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan
1441 H bulan yang penuh berkah yang didalamnya setiap muslim dewasa yang tidak
ada uzur atau halangan diwajibkan untuk berpuasa selama sebulan penuh.
Adapun tema blog kali ini
adalah Sya’ban dan Kewajiban Yang Mengiringinya,Adakah?.Mungkin
ada yang terbesik dihati untuk bertanya terkait judul postingan blog kali ini.Kewajiban
apa yang harus ditunaikan di bulan Sya’ban?Mungkin ada yang bertanya
demikian.Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut saya mengajak kepada
Anda untuk terus menyimak postingan ini sampai selesai dengan demikian akan
terjawab apa yang menjadi pertanyaan tersebut.Yuk....silakan menyimak sampai
selesai !
Apakah Itu Bulan Sya’ban ?
Sya'ban |
Bulan Sya’ban adalah bulan ke 8 dalam penanggalan Hijriyah atau kalender
Islam. Sya’ban secara bahasa berasal dari dua kata, yaitu dari kata: Syi’bun –
Sya’ban – artinya (menurut para ulama), orang-orang Arab zaman Jahiliyah dahulu
pada bulan-bulan tersebut mereka mencari tempat-tempat dimana terdapat
mata air. Negara Arab tanahnya kering, tandus, tidak sembarang tempat ada air.
Makna kata sya’ban lainnya adalah bulan antar bulan Rajab dengan Bulan
Ramadhan. Menurut Imam Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arob, makna kata Sya’ban
adalah dari lafadz Sya’aba atau berarti dhoharo (tampak) diantara dua bulan
mulia, yaitu Rajab dan Ramadhan.
Bulan Sya’ban adalah bulan ke delapan dari nama-nama bulan kalender
Hijriyah, setelah bulan Rajab dan sebelum Ramadhan. Bulan Sya’ban adalah bulan
yang diistimewakan Nabi Salallahu Alaihi Wassalam dan pula diagungkan, sehingga selayaknya bagi
seluruh kaum muslim untuk turut pula mengagungkan bulan ini. Dalam sebuah
hadis, Nabi Salallahu Alaihi Wassalam bersabda; Sya’ban adalah bulan dimana amal seseorang dilaporkan
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan saya senang bila amalku dilaporkan dalam keadaan saya
berpuasa”.
Sisi yang urgen direnung ulang memasuki bulan Sya’ban, yang merupakan
salah satu dari 12 bulan dalam penanggalan Islam, yang dalam sejarah kehidupan
dan perjalanan agama Islam memiliki arti sangat penting karena pada bulan ini,
banyak kejadian besar dan kebaikan terjadi di dalamnya.
Menurut Imam Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arob, makna kata Sya’ban adalah
dari lafadz ‘Sya’aba’ atau berarti ‘dhoharo’ (tampak) diantara dua bulan mulia,
yaitu Rajab dan Ramadhan.
Karenanya ketika kaum muslim mengagungkan bulan Sya’ban bukan karena bulan
Sya’bannya tetapi karena peristiwa agung yang terjadi di dalamnya.
Bulan itu ialah tempat dimana turunya wahyu Allah
pertama kali yaitu surah al-Alaq ayat 1-5 bernama bulan Ramadhan, Persiapan
pada bulan Sya’ban meliputi persiapan jasmani dan rohan serta berhati-hati dari
segala bentuk godain hawa nafsu.
Peristiwa yang terjadi Pada Bulan Sya’ban
Adapun Peristiwa yang terjadi pada bulan Sya’ban adalah sebagai berikut:
·
Pada Sya’ban, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkenan untuk merubah arah kiblat
umat Islam dari Masjidil Aqsho (palestina) ke arah Masjidil Haram (arab Saudi),
yang sebelumnya tatkala umat Islam berada di Kota Madinah, jika melakukan
shalat kiblatnya mengarah ke arah Baitul Maqdis. Tepatnya pada 15
Sya’ban, Allah berkenan memindah kiblat umat Islam menuju Masjidil Haram.
·
Pada bulan Sya’ban, segala amal manusia dalam jangka
waktu satu tahun dilaporkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebagaimana hadits yang
disampaikan sahabat Usamah bib Zaid Radhiallahu Anha. ; “Saya pernah berkata: Ya Rasulullah!
Saya tidak melihat Anda berpuasa penuh pada bulan lain, seperti puasa
Anda di bulan Sya’ban ini? Beliau menjawab: Pada bulan ini adalah sebuah bulan
yang banyak dilalaikan oleh umat manusia, dan dia berada diantara Rajab dan
Ramadhan yang pada bulan tersebut seluruh amal manusia dilaporkan ke hadirat
Allah, maka aku senang tatkala amal ibadahku dilaporkan sedang aku dalam keadaan
berpuasa.” (HR. An-Nasaiy).
Nama Lain Nisfu Sya’ban
1. Laylah Mubarakah (malam
keberkahan), maksudnya malam ini memiliki keberkahan tersendiri. Karena di
malam ini malaikat turun menyertai manusia.
2. Laylah al-Qismah (malam
pembagian), artinya bahwa di malam ini semua rejeki dan takdir ditentukan dan
dibagikan kepada setiap makhluk-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada
malam nisfu sya’ban ini baik rejeki, jodoh, maupun pernikahan.
3. Laylah at-takfir (malam
penghapusan dosa), artinya bahwa di malam ini dosa manusia selama satu tahun
akan diampuni Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebab kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya di malam
ini
4. Laylah al-Ijabah (malam
keterkabulan doa), dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar diinformasikan bahwa ada
lima malam dimana doa-doa yang dipanjatkan akan terkabulkan; malam Jumat, malam
pertama bulan Rajab, malam nisfu sya’ban, malam lailatul qadar dan malam dua
hari raya; idul fitri dan idul adha.
5. Laylah al-Hayat wa
‘iedul malaikat (malam kehidupan dan hari raya malaikat);
sebagaimana hari raya bagi umat Islam, malaikat juga memiliki dua hari raya
yakni malam lailatul qadar dan malam nisfu sya’ban
6. Laylah as-Syafaah (malam
syafaat), Abu Hakim an-naisaburi menamakan malam nisfu sya’ban adalah malam
diberikannya syafaat kepada umat nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam
7. Laylah al-baraah wa
laylah as-Shakki (malam pembebasan), dinamakan dengan malam
kebersihan karena di malam ini orang-orang mukmin dicatat kesuciannya.
8. Laylah al-Jaizah (malam
hadiah), Imam Taqiyuddin as-Subki menamakan malam nisfu Sya’ban sebagai malam
yang dihadiahkan kepada orang-orang mukmin.
9. Laylah al-Ghufran wal
itqi minan niran (malam ampunan dan pembebasan dari api neraka),
di malam ini orang-orang beriman akan mendapatkan ampunan dan pembebasan dari
api neraka.Semoga di malam nisfu Sya’ban besok kita semua mendapatkan limpahan
berkah, syafaat, ampunan, dan keutamaan-keutamaan lainnya.
Demikianlah sedikit
pembahasan tentang apa dan keutamaan bulan Sya’ban maka sampailah kita pada
pembahasan untuk menjawab pertanyaan pada judul postingan diatas.
Membayar
Utang (Qodho’) Puasa Ramadhan
Ramadhan 1441 H |
Jika bulan puasa Ramadan dan Idul Fitri
telah berlalu. Tiba saatnya membayar utang puasa Ramadan bagi yang punya utang.
Pada saat bulan puasa Ramadan tak semua muslimin bisa berpuasa.Semisal, bagi
kaum perempuan ada yang tak bisa berpuasa lantaran sakit, menstruasi
(haid,datang bulan) hamil, nifas dan menyusui.
Bagi mereka yang tak bisa berpuasa ini
maka wajib membayarnya pada bulan lainnya bisa dengan berpuasa ganti (qodho)
atau membayar fidyah.
Utang puasa adalah utang kita
kepada Allah yang jika tak dibayar selama di dunia maka di akhirat akan ditagih
Allah. Oleh sebab itu, utang puasa wajib dibayar.
Cara membayarnya ada dua, yaitu berpuasa
ganti atau qodho dan membayar fidyah.Fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin
selama jumlah hari utang puasanya.
Bagi yang ingin membayarnya dengan cara
berpuasa bisa melakukan puasa seperti halnya orang berpuasa, yaitu berniat
puasa qodho, bersahur, tidak makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam
matahari (waktu azan sebelum salat subuh hingga azan magrib dikumandangkan
atau bulatan matahari sudah tenggelam) lalu berbuka.
Yang dimaksud dengan qodho’ adalah
mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.Untuk
kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat
sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya
tadi. Inilah yang disebut qodho’.
Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa
Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau
diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya
setelah lepas dari udzur, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan
untuk puasa. Dimisalkan ini pula adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat
untuk puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk
berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.
Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah
Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari
‘Aisyah, beliau mengatakan,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ
وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan
untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”
Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?
Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak
puasa diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa
baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk
mengqodho’ puasa.
Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda.
Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa
ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul
fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal
dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka
tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang
mensyariatkannya”.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula
kaedah di atas: “Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal
dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya
tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”
Syaikh rahimahullah kemudian
membawakan contoh. Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja
meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah
aku wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak
wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak
bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.
Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa
sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia
bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami
pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja
engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada
dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki
batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti
dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada
manfaat sama sekali.”
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh
Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang
yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak
memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’,
artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon
perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai
udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah
sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika
dia ingat”.
Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga
keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah
mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua
ini, amalannya tidak diterima.”
Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja
tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya?
Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan
hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di
antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan
seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa
ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang
nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada
Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah
cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan,
“Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa
sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”
Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang
meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat
dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali
melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak
mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan
sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga
Allah memberi taufik.
Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda
Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti
dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan
di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan
berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’
puasanya sampai bulan Sya’ban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau
mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا
أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah
mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits)
mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik
mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan
dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang
memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا
سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan
Berikutnya
Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara
kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya
kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia
sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum
kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi
permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah
memiliki tambahan kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang
sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup
mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat
Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan
bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping
mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi
setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana
difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah
menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)-
ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga
masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’
tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia
memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran
makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok
negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah
sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan)
selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu
‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur
seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan
sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain
mengqodho’ puasanya.”
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda
qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban:
(1) bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan (3) wajib memberi makan
(fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’.
Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit atau menyusui
sehingga sulit menunaikan qodho’), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga
Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’
puasanya saja.
Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa
Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama
beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti
berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari,
maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan
Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak
berurutan”.
Demikianlah pembahasan kali
ini.Semoga sudah terjawab apa yang menjadi pertanyaan terkait dengan judul
postingan kali ini.Adapun kewajiban yang dimaksud sehubungan dengan bulan
Sya’ban adalah kewajiban menunaikan puasa yang belum terselesaikan selama bulan
Ramadhan yang telah dilewati yang biasa disebut Puasa Qodho yang wajib
untuk ditunaikan.
Semoga
bermanfaat.Wassalam.....!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar